Wednesday, November 12, 2008

Agar Sehat Ditempat Kerja

Jakarta: Buruh pengeboran itu datang ke dokter dengan keluhan sesak napas dan kemampuan gerak tubuhnya melambat. Dokter Jusuf, yang memeriksa pria 29 tahun bernama Sumantri itu, merujuknya ke rumah sakit agar menjalani pemindaian. Hasilnya, paru Sumantri terlihat mulai mengeras. Dia terbukti terkena asbestosis—penyakit karena menghirup serat asbes yang menyebabkan terbentuknya jaringan parut (fibrosis) di dalam paru.

Asbestosis membuat jaringan paru-paru tidak dapat mengembang dan mengempis dengan baik. ”Jika tak segera ditangani, bisa mengakibatkan kematian,” kata dokter Jusuf. Beruntung Sumantri bukan perokok sehingga terhindar dari penyakit kanker paru-paru. Seandainya tak memeriksakan diri lebih awal, Sumantri juga bisa terkena mesotelioma peritoneal—penyakit ganas dan tak bisa disembuhkan lantaran menghirup asbes dalam jangka waktu lama.

Kasus yang menimpa Sumantri, menurut Suryo Wibowo, seorang dokter spesialis kesehatan kerja (occupational medicine), merupakan salah satu dari lima jenis penyakit akibat kerja. Masih ada penyebab lain: fisik, biologis, ergonomi, dan psikososial.

Bagi seorang dokter kesehatan kerja, penelusuran riwayat si pasien, baik pekerjaan maupun kehidupan sehari-harinya, merupakan langkah penting agar bisa mengambil tindakan yang tepat. Dokter kesehatan kerja bukan hanya bertugas menyembuhkan pasien. Mereka juga harus mencegah agar penyakit tidak menyebar dan menurunkan kemampuan kerja seseorang ataupun pekerja lain.

Bila suatu kantor atau perusahaan meminta pemeriksaan kesehatan tahunan, seorang dokter kesehatan kerja wajib hukumnya turun ke lapangan. ”Tak bisa hanya di belakang meja menganalisis data kesehatan pekerja,” ujar dokter Suryo.

Tatkala karyawan bagian produksi mengeluh sakit pinggang, misalnya, dokter kesehatan kerja harus melakukan survei secara langsung untuk mengetahui cara mereka bekerja. ”Rupanya karena mesin di bagian produksi didatangkan dari Eropa,” dokter Suryo menambahkan. ”Ukuran tingginya standar orang Eropa, sehingga timbul ketidaksesuaian antara mesin dan manusia.”

Posisi bekerja yang tidak ergonomis itulah yang menyebabkan sakit pinggang. Untuk mengatasinya, tak perlu diberi obat atau tindakan medis lain. ”Jalan keluarnya, misalnya, pekerjanya harus pakai dingklik,” kata kandidat doktor kesehatan kerja itu.

Dalam kasus Sumantri, asbestosis dapat dicegah dengan mengurangi kadar serat dan debu asbes di lingkungan kerja. Pekerja bisa diwajibkan memakai alat pelindung diri agar tak menghirup debu tersebut. Untuk mengurangi risiko terkena kanker paru-paru, para pekerja yang berhubungan dengan asbes dianjurkan berhenti merokok.

Agar sumber penyakit tak menyebar ke anggota keluarga, setiap pekerja disarankan mencuci pakaian kerjanya di pabrik dan menggantinya dengan pakaian bersih saat kembali ke rumah. Semua pakaian kerja tidak ada yang dibawa pulang dan pekerja membersihkan diri atau mandi sebelum kembali ke rumah masing-masing.

Bahaya lain yang sering terjadi pada pekerja, terutama di tempat pembakaran, adalah terhirupnya gas karbon monoksida. Gas yang dihasilkan dari proses oksidasi bahan bakar yang tidak sempurna itu biasanya tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak menyebabkan iritasi. Gas beracun tersebut memasuki tubuh melalui pernapasan dan diserap ke dalam peredaran darah.

Karbon monoksida akan berikatan dengan hemoglobin (yang berfungsi mengangkut oksigen ke seluruh tubuh) menjadi carboxyhemoglobin. Gas itu mempunyai kemampuan berikatan dengan hemoglobin 240 kali lipat kemampuannya berikatan dengan oksigen.

Persaingan berebut hemoglobin ini akan menyebabkan pasokan oksigen ke seluruh tubuh menurun tajam sehingga melemahkan kontraksi jantung dan menurunkan volume darah yang didistribusikan. Konsentrasi rendah (<>ppmv ambient) dapat menyebabkan pusing-pusing dan keletihan. Adapun konsentrasi tinggi (> 2.000 ppmv) dapat menyebabkan kematian. ”Padamnya listrik di Carrefour Ratu Plaza, Jakarta Selatan, yang menyebabkan para karyawannya pingsan, merupakan salah satu contohnya,” ujar dokter Suryo.

Penyakit akibat kerja bukan hanya terjadi pada pekerja kerah biru, tapi juga bisa terjadi pada pegawai kantoran. Dokter Suryo, misalnya, menunjuk pasiennya: seorang sekretaris yang terkena penyakit carpal tuner syndrome—suatu keadaan terjadinya peningkatan penekanan saraf pada pergelangan tangan yang mengakibatkan iritasi dan kelelahan pada ruam di antara jari tangan.

Gejalanya berupa rasa nyeri, terbakar, serta kesemutan di jari-jari dan tangan yang terkadang menjalar ke siku. Senut-senut kian terasa di malam hari, bahkan kadang bisa membangunkan penderita. Orang yang berisiko terkena penyakit itu adalah pengguna komputer yang melakukan gerakan berulang pada pergelangan tangan. Namun peringkat tertinggi dalam daftar kesehatan kerja, menurut dokter Suryo, berupa keluhan nyeri punggung dan bahu.

Lantaran kebutuhan memenuhi persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja itulah, tenaga medis kesehatan kerja mulai dilirik. Pertemuan ISO on Occupational Health and Safety Management di Jenewa, Swiss, September 1996, mengatur penerapan Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja secara internasional merupakan salah satu syarat bagi semua jenis industri. Dua tahun setelah itu Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mulai berencana mengembangkan program pendidikan spesialis kedokteran okupasi.

Program itu awalnya hanya berupa kursus-kursus singkat untuk tenaga medis yang sudah ada. ”Saya angkatan kedua spesialis kedokteran kesehatan,” ujar dokter Suryo, yang baru lulus tahun lalu. Di Amerika Serikat, kedokteran kesehatan sudah mulai dikembangkan sejak 1970-an. Saat itu didirikan The National Institute for Occupational Safety and Health.

Dalam perkembangannya, dokter kesehatan kerja tak hanya dilibatkan dalam penanganan kesehatan pekerja semata. Mereka juga ikut serta dalam merancang pabrik. Dokter okupasi harus melihat data pekerja. Contohnya, pegawai dengan tubuh paling gemuk harus bisa melewati pintu darurat atau gang-gang di sekitar mesin jika terjadi situasi gawat di pabrik tersebut.

”Kami harus dilibatkan untuk mengurangi risiko jika terjadi sesuatu,” kata dokter Suryo. Bila terjadi kebakaran, harus dipersiapkan pula jalur evakuasi. ”Jangan sampai terjadi tabrakan atau bahaya lain karena adanya bahan kimia yang terbawa angin,” dia menambahkan. Dengan melibatkan dokter okupasi, risiko terganggunya kesehatan akibat kerja diharapkan bisa dikurangi. Tempat bekerja seyogianya memang tak menjadi sumber duka para pekerja.

Ahmad Taufik

0 comments: