Dalam konsep Islam tawa dipandang bukan sekadar pintu ''pelepasan'' dari ketegangan. Tapi ia juga dianggap sebagai ungkapan sosial dari rasa cinta, kegembiraan, dan kebersamaan. Malah Allah memperingatkan bahwa mereka yang tidak mau ''bersama-sama'' berjihad di jalan Allah bersama Nabi, hendaklah tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai balasan dari apa yang mereka kerjakan (QS, 9:82). Dalam hadis riwayat Thabrani diceritakan bahwa Nabi Muhammad senang tertawa dan bersenda gurau. Tapi Nabi tidak akan melakukan sesuatu hal melainkan yang hak. Nabi Sulaeman juga begitu sering tertawa. Salah satu tawa sang nabi yang diabadikan dalam Alquran adalah ketika beliau mendengar teriakan seekor semut yang mengomandoi kawan-kawannya untuk masuk sarang agar tidak terinjak Nabi Sulaeman dan bala tentaranya. (QS, 27:19).
Berbagai penelitian ilmiah menyimpulkan bahwa tertawa memperkokoh kesehatan. Ketika kita tertawa, otak kita mengalami relaksasi. Pikiran kita menjadi segar kembali. Dan kita siap menghadapi tugas-tugas hidup berikutnya. Hidup memang mesti dijalani dan dimaknai dengan sebaik-baiknya. Namun tanpa mengurangi hal tersebut, hidup juga berarti panggung komedi (laibun wa lahuwun). Alquran mengatakan hidup hanyalah permainan dan senda gurau. Lalu mengapa kita mesti tegang, putus asa, dan hendak bunuh diri ketika kita gagal meraih sesuatu? Tidakkah lebih baik kita tertawa dan tetap tawakal?
0 comments:
Post a Comment